(Serang, 20 April 2017)
“Hari
Kartini” yang
diperingati setiap tanggal 21 April sejatinya tidak hanya dipahami sebagai
bentuk seremonial belaka melalui penampilan parade kebaya. Tetapi, momentum
Hari Kartini ini sepatutnya mampu menyentuh sampai ranah substansial yang
menyimpan makna penting yaitu terkait perjuangan seorang perempuan bernama
Raden Ajeng Kartini dalam mewujudkan kesetaraan gender yang dalam proses
perjalanannya selalu menemukan permasalahan pelik bagi suatu bangsa. Isu
kesetaraan gender menjadi penting untuk dibahas dalam sebuah negara yang
mengklaim sebagai negara demokrasi sebab demokrasi tanpa keadilan dan
kesetaraan dapat dianggap cacat.
Diskusi
akademik ini dimoderatori oleh ketua himpunan mahasiswa Jurusan Ilmu
Pemerintahan (Hima IP) yaitu Risa Handayani. Sebagai pembuka, Risa memberikan
pengantar bahwa tema diskusi yang diangkat yaitu “Konstruksi Gender pada
Gerakan Sosial” yang terinspirasi dari momentum Hari Kartini yang telah
mengharukan nama perempuan dalam perjuangannya membangun kesetaraan gender. Gender
merupakan sebuah paradoks dalam demokrasi karena dianggap tidak mampu
mewujudkan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Perempuan hanya dianggap
sebatas ruang privat bukan ruang publik. Hambatan budaya patriarki menjadi
salah satu alasan mengapa kiprah perempuan dalam aktivitas sosial dan politik
kerap terdistorsi oleh kaum laki-laki.
Ika
Arinia Indryany selaku pemantik materi pada diskusi tersebut menerangkan bahwa
sebagai mahasiswa ilmu pemerintahan, isu mengenai gender lebih penting
ketimbang sekedar formalitas pada acara festival kebaya. Isu tentang Kendeng
misalnya merupakan gerakan sosial yang dilakukan oleh ibu-ibu melawan kapitalis
yang dianggap merusak lingkungan. Ibu-ibu tersebut mendatangi istana negara
dengan menyemen kaki mereka sebagai
bentuk resistensi terhadap kapitalis yang tidak bertanggung jawab atas
kerusakan alam di Kendeng. Kelompok ibu-ibu tersebut menjadi garda terdepan
dalam melakukan advokasi. Isu tersebut menjadi menjadi salah satu momentum akan
pergerakan gerakan sosial perempuan yang hendak memberikan isyarat bahwa
perempuan yang selama ini dianggap lemah dan tidak berdaya sejatinya mampu
berperan secara aktif dan otonom di ruang publik baik dalam ranah sosial maupun
politik. Perempuan seyogyanya dapat berperan secara sejajar dengan laki-laki
melalui perjuangan kesetaraan gender.
Dalam
penutup disksusi, Ika Arinia memberkan sebuah refleksi tentang konstruksi
gender dan gerakan sosial bahwa gerakan perempuan (Feminisme) di Indonesia dianggap sebagai proyek barat yang dianggap
menghancurkan budya dan norma yang telah mengakar kuat di tengah masyakat.
Selain itu, feminisme juga dianggap sebagai perjuangan egoisme yang telalu
mementingkan kaum perempuan itu sendiri dengan menolak sebuah norma bagi peran
perempuan secara normatif yang telah terkonstruksi di masyarakat sebelumnya.
Konstruksi peran perempuan yang berujuang pada sub-ordinasi perempuan itu
diperparah dengan adanya legitimasi oleh tatanan sosial dan agama. Karena itu,
untuk melawan hambatan-hambatan tersebut, Ika Arinia mengajak kepada audiens
untuk mulai melakakukan hal-hal kecil dari sekarang seperti mulai mengubah
pelabelan penggunaan istilah “Wanita” menjadi “Perempuan” sebab makna dari
kedua istilah tersebut memiliki konsekuensi politis yang berbeda. Wanita dalam
bahasa Jawa kepanjangan dari Wani Ditata
artinya harus rela diatur oleh laki-laki dan norma-norma lainnya. Sedangkan
istilah perempuan dianggap lebih memberikan makna dinamis, otonomi, dan
perjuangan akan kesetaraan gender.
DEPARTEMEN KASTRATLITBANG
HIMPUNAN MAHASISWA ILMU PEMERINTAHAN 2017
KABINET BERKARYA MENGINSPIRASI
0 komentar:
Posting Komentar