PRESS RELEASE DISKUSI “HARI KARTINI” 2017

Rabu, 11 Oktober 2017

SERANG, 20 APRIL 2017

Konstruksi Gender dan Gerakan Sosial



(Serang, 20 April 2017) 

Hari Kartini yang diperingati setiap tanggal 21 April sejatinya tidak hanya dipahami sebagai bentuk seremonial belaka melalui penampilan parade kebaya. Tetapi, momentum Hari Kartini ini sepatutnya mampu menyentuh sampai ranah substansial yang menyimpan makna penting yaitu terkait perjuangan seorang perempuan bernama Raden Ajeng Kartini dalam mewujudkan kesetaraan gender yang dalam proses perjalanannya selalu menemukan permasalahan pelik bagi suatu bangsa. Isu kesetaraan gender menjadi penting untuk dibahas dalam sebuah negara yang mengklaim sebagai negara demokrasi sebab demokrasi tanpa keadilan dan kesetaraan dapat dianggap cacat.

Diskusi akademik ini dimoderatori oleh ketua himpunan mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan (Hima IP) yaitu Risa Handayani. Sebagai pembuka, Risa memberikan pengantar bahwa tema diskusi yang diangkat yaitu “Konstruksi Gender pada Gerakan Sosial” yang terinspirasi dari momentum Hari Kartini yang telah mengharukan nama perempuan dalam perjuangannya membangun kesetaraan gender. Gender merupakan sebuah paradoks dalam demokrasi karena dianggap tidak mampu mewujudkan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Perempuan hanya dianggap sebatas ruang privat bukan ruang publik. Hambatan budaya patriarki menjadi salah satu alasan mengapa kiprah perempuan dalam aktivitas sosial dan politik kerap terdistorsi oleh kaum laki-laki.

Ika Arinia Indryany selaku pemantik materi pada diskusi tersebut menerangkan bahwa sebagai mahasiswa ilmu pemerintahan, isu mengenai gender lebih penting ketimbang sekedar formalitas pada acara festival kebaya. Isu tentang Kendeng misalnya merupakan gerakan sosial yang dilakukan oleh ibu-ibu melawan kapitalis yang dianggap merusak lingkungan. Ibu-ibu tersebut mendatangi istana negara dengan menyemen kaki  mereka sebagai bentuk resistensi terhadap kapitalis yang tidak bertanggung jawab atas kerusakan alam di Kendeng. Kelompok ibu-ibu tersebut menjadi garda terdepan dalam melakukan advokasi. Isu tersebut menjadi menjadi salah satu momentum akan pergerakan gerakan sosial perempuan yang hendak memberikan isyarat bahwa perempuan yang selama ini dianggap lemah dan tidak berdaya sejatinya mampu berperan secara aktif dan otonom di ruang publik baik dalam ranah sosial maupun politik. Perempuan seyogyanya dapat berperan secara sejajar dengan laki-laki melalui perjuangan kesetaraan gender.

Dalam penutup disksusi, Ika Arinia memberkan sebuah refleksi tentang konstruksi gender dan gerakan sosial bahwa gerakan perempuan (Feminisme) di Indonesia dianggap sebagai proyek barat yang dianggap menghancurkan budya dan norma yang telah mengakar kuat di tengah masyakat. Selain itu, feminisme juga dianggap sebagai perjuangan egoisme yang telalu mementingkan kaum perempuan itu sendiri dengan menolak sebuah norma bagi peran perempuan secara normatif yang telah terkonstruksi di masyarakat sebelumnya. Konstruksi peran perempuan yang berujuang pada sub-ordinasi perempuan itu diperparah dengan adanya legitimasi oleh tatanan sosial dan agama. Karena itu, untuk melawan hambatan-hambatan tersebut, Ika Arinia mengajak kepada audiens untuk mulai melakakukan hal-hal kecil dari sekarang seperti mulai mengubah pelabelan penggunaan istilah “Wanita” menjadi “Perempuan” sebab makna dari kedua istilah tersebut memiliki konsekuensi politis yang berbeda. Wanita dalam bahasa Jawa kepanjangan dari Wani Ditata artinya harus rela diatur oleh laki-laki dan norma-norma lainnya. Sedangkan istilah perempuan dianggap lebih memberikan makna dinamis, otonomi, dan perjuangan akan kesetaraan gender.


DEPARTEMEN KASTRATLITBANG
HIMPUNAN MAHASISWA ILMU PEMERINTAHAN 2017
KABINET BERKARYA MENGINSPIRASI







0 komentar:

 
Ilmu Pemerintahan © 2012 | Designed by Bubble Shooter, in collaboration with Reseller Hosting , Forum Jual Beli and Business Solutions